Friday, May 15, 2009

TO MEASURE IS TO KNOW;Bagaimana Mengukur Performa Sebuah Pemerintahan?

Sebuah diskusi kecil2an sering kami adakan di pagi hari sebelum tancap gas dengan day-to-day business di kantor. Kita menyebut diskusi ini sebagai Forum Negara Pancasila, persis seperti judul sebuah acara radio pada era 80-an. Bagaimana kabar si Bapak pengisi acara itu ya? Siapa sih namanya?, Masih ingatkah anda? Namanya Bapak Tejo Sumarto SH, saya jadi kangen dengar suaranya.

Dalam salah satu diskusi kecil2an itu topik yang dibahas adalah bagaimana mengukur tingkat keberhasilan atau kegagalan sebuah pemerintahan? Apakah mungkin menggunakan prinsip atau metode yang sering dipakai dalam mengukur keberhasilan atau kegagalan sebuah perusahaan? . Jikalau sebuah perusahaan menggunakan Key Performance Indicator (KPI) sebagai alat untuk mengukurnya, terus apa dong KPI sebuah pemerintahan?. Jika sebuah perusahaan menggunakan bottom line atau profit margin sebagai ukuran, kan sebuah pemerintahan tidak mengenal yang namanya bottom line atau profit margin. Jadi bagaimana mengukur keberhasilan sebuah pemerintahan?

Bagaimanapun mengukur tingkat keberhasilan atau kegagalan itu perlu dan wajib hukumnya. Dengan mengukurnya, kita membuka pintu untuk memperbaiki kekurangan yang ada. Persis seperti apa yang pernah dinyatakan oleh Lord Kelvin, seorang ilmuwan Inggris dengan pernyataannya, “if you can not measure it, you can not improve it”. Karena kita punya niat untuk memperbaiki keadaan, mestinya kita harus bisa dan mau mengukur keberhasilan atau kegagalan kita, dan ini berlaku juga untuk sebuah pemerintahan. Bukankah sebuah pemerintahan mendapatkan mandat untuk memperbaiki keadaan?.

Pada tahun 1993, Kongres Amerika Serikat mengeluarkan undang-undang yang mereka sebut sebagai Government Performance and Results Act (GPRA). Undang-undang ini mengamanahkan setiap federal agensi untuk membuat Rencana Strategis jangka panjang yang mendefinisikan tujuan dan obyektif dari program-program yang mereka kerjakan, membuat Rencana Pencapaian tahunan yang mencantumkan pencapaian tujuan yang “terukur” dari semua program yang dianggarkan oleh lembaga pemerintah serta membuat laporan tahunan tentang pencapaiannya. GPRA ini mengubah fokus lembaga-lembaga pemerintahaan dari yang sebelumnya berfokus kepada “akuntabilitas terhadap proses” menuju ke “akuntabilitas dari hasil pencapaian.”

Bagaimana dengan Indonesia?, Peraturan Presiden (PerPres) no 7 tahun 2005 menjabarkan visi, misi, strategi, agenda beserta prioritas pembangunan nasional tahun 2004 – 2009. Dalam PerPres tersebut dinyatakan bahwa ada tiga agenda utama yang terdiri dari agenda mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis dan agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Menurut Paskah Suzeta pada acara pembukaan Musyawarh Perencanaan Pembangunan Nasional, Selasa 12 Mei 2009 kemarin, secara garis besar pelaksanaan agenda-agenda tersebut memberikan hasil yang positif. Agenda pertama, telah dilaksanakan dengan baik di mana saat ini kondisi ekonomi jauh lebih baik dibandingkan awal pemerintahan. "Kita dihadapi berbagai kelompok di Aceh, Papua, Maluku utara, dan Poso. Sekarang ini tidak terjadi lagi," katanya. Aksi terorisme juga telah berkurang.
Kedua, berhasilnya pemberantasan korupsi. Diperlihatkan dengan meningkatnya indeks korupsi (IPK) dari 1,9 pada 2004 menjadi 2,6 pada 2008. Dari sisi demokrasi telah dicapai pelaksanaan Pilkada di seluruh daerah tingkat I dan dua yang berlangsung aman. Masyarakat juga telah memperoleh kebebasan informasi yang beragam. Agenda ketiga, setelah krisis moneter 1998 yang sempat melumpuhkan ekonomi Indonesia dari minus 13 persen, ekonomi kini tumbuh positif. Pertumbuhan ekonomi bahkan membaik sampai mencapai pertumbuhan tertinggi diatas 6 persen pada 2008 lalu.

Jikalau ditelusuri lebih lanjut, Peraturan Presiden tersebut di atas lengkap dengan lampirannya tentu saja, banyak hal yang belum tercakup oleh pidato Paskah Suzeta. Contoh sasaran-sasaran pembangunan itu antara lain adalah terungkapnya jaringan utama pencurian sumber daya kehutanan, serta membaiknya praktek penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya kehutanan dalam memberantas illegal logging, over cutting, dan illegal trading; menurunnya kekuatan OPM dan melemahnya dukungan simpatisan OPM di dalam dan luar negeri; jumlah dan kondisi peralatan pertahanan ke arah modernisasi alat utama sistem persenjataan dan kesiapan operasional; evaluasi terhadap Rencana Aksi Hak Asasi Manusia 2004–2009; Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi; Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak; Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak; dan Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015; dan masih banyak lagi.

Maklum dalam pidato pembukaan sebuah acara yang agenda dan waktunya terbatas, tentu saja tidak semua pencapaian sasaran-sasaran pembangunan dapat disampaikan. Termasuk didalamnya sasaran-sasaran pembangunan yang menggunakan ukuran kualitatif dalam pendeskripsiannya.

Kembali ke Lord Kelvin. Lord Kelvin juga pernah menyatakan bahwa “when you can measure what you are speaking about, and express it in numbers, you know something about it; but when you cannot measure it, when you cannot express it in numbers, your knowledge is of a meagre and unsatisfactory kind”.

Jadi jika Paskah Suzeta menyatakan bahwa pemerintahan SBY-JK dibantu para Menteri Kabinet Bersatu telah berhasil memajukan Indonesia, bagaimana menurut anda?



0 comments:

Post a Comment