Saturday, November 7, 2009

DAN SAYA?, TAK KUASA BERBUAT APA-APA

Hal pertama yang hendak ingin saya sampaikan adalah permohonan ampun saya kepada Tuhan yang menguasai gejolak hati setiap manusia, Tuhan yang telah menciptakan makhluk yang menurut penilaian Malaikat, hanya akan menimbulkan kerusakan di muka bumi ini, Tuhan yang dengan caraNya telah mengajarkan kepada Musa AS bahwasanya apa yang nampak kejam terang benderang, mengandung misteri kebaikan, lewat pertemuan dan perjalanannya dengan Khidir AS.

Kenapa permohonan ampun yang saya dahulukan?, karena saya tak kuasa berbuat apa-apa. Apa yang terjadi selama hampir dua minggu terakhir ini sungguh diluar jangkauan pikiran dan logika saya, dan tentu saja bisikan-bisikan halus dan sunyi tentang kebenaran dan keadilan yang sering saya biarkan lalu begitu saja, karena kesibukan memanjakan hasrat pribadi.

Sebuah panggung telah digelar di hadapan kita semua, rakyat Indonesia. Rakyat yang kadang kala dianggap cerdas, akan tetapi di lain kesempatan dan konteks, dianggap mudah untuk mengalami kebingungan dan oleh karenanya harus diberikan informasi yang “benar”, disayang dan dibujuk supaya tak ikut larut dalam pertikaian elit yang entah apa ujungnya dan seringkali tak mengubah apa-apa. Benar menurut siapa dan benar untuk apa, tak ada yang berani memastikan jawabannya. Rakyat Indonesia yang cerdas dan tidak cerdas, tergantung konteksnya.

Sebuah panggung pencitraan kelas tinggi dengan lakon yang menggetarkan. Dan seperti lakon-lakon besar lainnya yang pernah tercatat dalam sejarah dunia, ini juga lakon tentang bagaimana kebenaran diperebutkan, bagaimana kesalahan, keserakahan, hasrat primitif kekuasaan, pelacuran intelektualitas menemukan panggungya. Dan itu semua, katanya, demi hukum dan sekali lagi demi rakyat Indonesia dan hajat hidupnya.

Sebuah panggung dimana siapa yang mampu mengolah rasa dan mendapat simpati penontonnya sebagai pihak yang paling menderita dan terzhalimi, akan meninggalkan panggung dengan sebuah kemenangan dan “kebenaran” yang diperebutkan itu, pada saat lakon itu selesai nanti. Dan kebenaran pun pada akhirnya sudah tereduksi.

Sebuah panggung dimana suara rakyat menghilang entah kemana, seolah enggan menemui pihak-pihak yang seharusnya merangkul, menyayanginya dan meng-artikulasikannya. Atau justru sebaliknya, suara rakyat itu ada dimana-mana, di kolong jembatan, di kolong jalan tol, di pinggir sungai, di dalam rumah-rumah kumuh, di bau busuk sampah yang menggunung, di pekatnya asap knalpot kendaraan yang berhenti ditahan kemacetan jalan yang tak kunjung terurai, di trafo-trafo distribusi PLN, di situ-situ yang terbengkalai kurang perawatan, dimana-mana. Akan tetapi pihak yang seharusnya merangkul, menyayanginya, dan meng-artikulasikannya, justru tak bisa merasakannya dan memalingkan muka ketika secara tak sengaja bertemu dengannya, dan asyik larut dalam sandiwara.

Benar bahwa tak seorangpun yang terlibat dalam lakon ini adalah malaikat, sehingga klaim-klaim tentang “kebenaran” yang mereka sampaikan mungkin juga mengandung kesumiran. Terus siapa yang seharusnya memisahkan serpihan-serpihan kebenaran itu dari lumbung kesumiran, membersihkannya dan merangkainya menjadi sebuah bingkai fakta? Pemimpin katanya. Sayang sampai sejauh ini pertunjukkan belum juga memperlihatkan, siapa sebenarnya sang pemimpin itu. Yang dipertontonkan sampai sejauh ini adalah seseorang yang berbisik tentang norma-norma, dan hanya dalam batas itu saja. Serpihan-serpihan kebenaran itu masih berserakan tertimbun di dalam lumbung kesumiran yang sebenarnya ada dalam genggamannya.


Dan saya?, tak kuasa berbuat apa-apa.


Read more...

Sunday, September 13, 2009

YANG HIDUP, KELAK PASTI MATI

Mushola sudah mulai sepi, semakin berurang saja yang datang untuk sholat Isya dan Tarawih. Sepuluh hari terakhir, keistimewaan malam-malam ganjil, sepertinya tak terasa melingkupinya.

Suasana konsumtif menyeruak dan justru terasa membuncah. Mall-mall lebih rame rasanya. Orang sibuk, berdesakan, antrean cukup panjang mencari hidangan berbuka, mencari “kebutuhan” lebaran yang sebenarnya mungkin tidak dibutuhkan.

Pak Ustadz berdiri di mimbar, setelah sholat Isya’ dan mulai memberikan materi untuk perenungan.

Yang hidup, kelak pasti mati. Hidup, kita semua sedang menjalaninya, dan masing-masing dari kita sedang memaknainya. Tapi Mati, sebuah misteri bagi kita yang sedang memaknai hidup tadi.

Mati tak mengenal umur. Orok yang baru saja menyambut matahari dan udara, bisa saja jika dikehendaki “si Empunya”, langsung pergi meninggalkan hidupnya. Jadi bagi yang masih merasa muda, baik secara fisik penampilan dan “perasaan”, jangan bergaya.

Mati juga tak kenal kedudukan di dunia. Jabatan apa yang menurut anda, jabatan terhebat, tertinggi di dunia? Presiden negara adidaya kah?. Abraham Lincoln mati, Stalin mati, Gandhi mati, Ayatullah Khomenei mati, Soekarno juga mati. Jadi bagi anda yang cuma presiden direktur, lurah, camat, walikota, bupati, gubernur, menteri, dirjen, manajer, pemimpin redaksi, konglomerat (silakan tambahi sendiri), juga jangan bergaya.

Mati tak kenal pendidikan. Siapa di dunia yang bisa dianggap orang paling pinter di dunia ini? Adam Smith, Newton, Einstein (silakan tambahi sendiri), kemana mereka semua, mereka mati. Jadi bagi pembaca yang merasa pintar, professor, dosen, staff ahli menteri, staff khusus kepresidenan, jangan juga banyak cakap seolah bisa menghindar untuk bertemu dengan mati.

Mati pun tak juga kenal profesi. Profesi apa yang susah untuk mati?, tak jarang kita mendengar kabar, seorang dokter spesialis jantung, justru mati karena serangan jantung. Dokter spesialis ginjal, justru mati karena gagal ginjal. Jadi jika anda merasa, karena profesi anda lantas anda tak akan bertegur sapa dengan mati, buang jauh perasaan dan pikiran anda.

Mati tak kenal semua predikat dunia, semua predikat yang mungkin anda pikirkan, yang membuat manusia merasa hebat, yang membuat merasa dia tak membutuhkan siapapun, yang membuat manusia tak ingin berbagi, yang membuat manusia tak butuh kehadiran Tuhan.

Pertanyaannya, kematian seperti apa yang anda kehendaki dan oleh karenanya anda memaknai hidup dan berdoa untuk menemuinya?




Read more...

Monday, August 17, 2009

THE FREEDOM WRITERS: SEBUAH CERMIN BAGI INDONESIA KONTEMPORER

Menjalani hidup dengan penuh prasangka buruk dan saling curiga bukanlah hidup yang sebenarnya. Bukan pula hidup yang ingin kita jalani dan akan kita wariskan bagi anak cucu kita, kelak di kemudian hari. Tapi bagaimana jika prasangka buruk dan saling curiga tersebut justru diwariskan oleh kakek dan nenek, secara turun temurun dan tak berkesudahan?. Bagaimana pula semua ini bisa diakhiri?. Sebuah potensi besar yang bernama “diversity” dan pada saat yang sama, sebuah tantangan besar yang disebut “integration”.

Long beach, California, Amerika Serikat periode 1992-1995. Sebuah periode yang memilukan dan sekaligus menarik untuk disimak, sebuah periode yang bercerita banyak dengan cara yang buram tentang “diversity” dan “integration”. Sebuah periode dimana kekerasan antar rasis terjadi hampir setiap hari, dimana saja dan seringkali tanpa disertai sebab yang jelas. Di depan rumah, di jalanan, di sekolah, pertokoan. Dini hari buta, pagi, siang dan malamnya mempertontonkannya. Nyawa seperti tak berharga, hilang dengan mudahnya. Seorang anak dengan mata kepalanya sendiri meyaksikan ayahnya ditangkap polisi entah apa alasannya, seorang anak dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan orang tuanya, tiba-tiba ditembak di depan rumah oleh gangster entah karena apa. Labelisasi tak berdasar, prasangka buruk dan balas dendam yang secara turun temurun diwariskan menjadi “udara” yang dihirup masyarakatnya. “Protect our own” menjadi tata nilai yang dianut masing-masing kelompok yang ada.


Sebuah inisiatif yang disebut “Integration” diluncurkan di bidang pendidikan, mencoba untuk menghapus situasi. Sekolah-sekolah menengah diharuskan menerima, menampung dan mendidik semua ras yang ada di masyarakat Long Beach. Sebuah inisiatif yang didasari sebuah keyakinan bahwa jika sekat-sekat prasangka-prasangka, disparitas-siapritas, dan “protect our own” sebagai tata nilai di masyarakat dapat dihilangkan sejak dan di sekolah-sekolah menengah, maka hal yang sama pun akan hilang di dalam masyarakat itu sendiri, suatu saat nanti.

Inisiatif ini berjalan tertatih-tatih,…untuk tidak menyebutnya sebagai berjalan di tempat dan tanpa efek positif yang diharapkan, menunjukkan bentuknya. Ini terlihat dengan jelas di salah satu sekolah menengah Woodrow Wilson high School. Murid-murid dan guru-guru seperti kehilangan arah, asa mereka, dan hari-hari di sekolah tetap saja dijalani dalam situasi dimana “protect our own” menjadi tata nilai di dalamnya. Sebuah inisiatif yang justru dalam kenyatannya memberikan ruang tambahan bagi tata nilai tersebut untuk semakin tumbuh berkembang tidak hanya di jalanan, di pertokoan, di perumahan, tapi sekarang juga di sekolahan. Dan oleh karenanya, inisiatif ini gagal dengan sendirinya.

Dunia tak berhenti berputar, dan tidak pula Tuhan tidur dengan kuasanya. Manusia sebagai ciptaanNYA sendiri lah yang harus memulai perubahan itu dengan kesadaran, komitmen dan caranya sendiri. Lewat seorang Erin Gruwell, seorang “student teacher”, bersama-sama dengan 150 muridnya, sebuah inisiatif yang gagal dan sekaligus buram tersebut, berhasil memberikan secercah cahaya di ujung lorong panjang buram yang dipenuhi udara “labelisasi tak berdasar, prasangka buruk dan balas dendam”.

Kisah nyata tentang Erin Gruwell dan 150 muridnya menjadi referensi sebuah film drama yang berjudul “FREEDOM WRITERS”, dibintangi oleh Hillary Swank dan direlease tahun 2007 lalu. Sebuah film yang mencoba melakukan visualisasi apa yang dilakukan dan diperjuangkan oleh mereka, tentang kebuntuan system birokrasi, keterbatasan resources, mentransformasi “diversity” dari hanya sebagai sumber masalah menjadi potensi, menawarkan sebuah metode proses “integration”, bagaimana “adversity quotient” memberikan jawaban dan tentu saja menghapus “protect our own” sebagai tata nilai yang berlaku di setiap kelas yang ada di Woodrow Wilson high School, Long beach, California.

Bangsa Indonesia, dalam tingkatan yang berbeda, menghadapi permasalahan yang sama. Proses integrasi di segala bidang yang belum selesai dan masih merupakan sebuah pekerjaan rumah yang paling besar dan komplek, kebuntuan system birokrasi dan proses reformasinya yang belum purna, kegagapan dalam melakukan transformasi “diversity” yang dimilikinya menjadi potensi, “adversity quotient” yang tak nampak jelas dimiliki oleh pemimpin-pemimpinnya, dan persoalan tata nilai yang masih membingungkan.

Meminjam ungkapan almarhum WS Rendra, “KERJA BELUM SELESAI dan Orang-orang harus dibangunkan”.

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA yang ke 64 tahun, MERDEKA.




Read more...

Tuesday, July 14, 2009

BlackBerry dan Tabung Gas

Perkembangan di dunia telekomunikasi dan elektronika sungguh luar biasa. Produk-produk smart phone yang menawarkan berbagai kemudahan untuk berkomunikasi lewat dunia maya seperti lewat chatting, jejaring social facebook, twitter, surat elektronik dan update berita terkini dari situs berita, sungguh variatif, mulai dari yang diproduksi dan dipasarkan untuk pengguna yang masuk kategori low-end maupun high-end. Berbagai merek menyerbu pasar Indonesia. Operator telekomunikasi pun ikut berlomba untuk mendapatkan segmen pasarnya dengan memasarkan produk-produk smart phone seperti BlackBerry dan IPhone 3G dengan sistem bundling. Orang rela mengantre panjang untuk mendapatkannya. Seorang kawan pernah bertanya sambil bergurau, “kok kayaknya antrean pembelian smart phone itu lebih panjang dari antrean BLT ya?”.

Membanjirnya produk-produk smart phone, alat telekomunikasi dan elektronika lainnya ke pasar dalam negeri tentunya harus disikapi. Dalam hal perlindungan terhadap hak konsumen, terutama berkenaan dengan jaminan terhadap kualitas produk, fasilitas purna jual beserta garansi, dan petunjuk pemakaian yang menggunakan bahasa Indonesia, sikap ini telah diambil oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan. Lewat Peraturan Menteri Perdagangan no No.19/M-DAG/PER/5/2009 ketentuan-ketentuan untuk menjamin hak konsumen dijabarkan.


Kementrian yang sama, juga tampak serius dalam usahanya untuk menegakkan ketentuan-ketentuan dalam peraturan tersebut diatas. Ini dapat dilihat dari polemik yang mengemuka akhir-akhir ini, dimana salah satu produsen smart phone, Research in Motion (RIM) yang merupakan produsen BlackBerry, mendapatkan sorotan dan teguran untuk segera membuka layanan purna jualnya di Indonesia, walaupun peraturan yang sama baru akan efektif diberlakukan di bulan Agustus 2009 besok, tiga bulan sejak ditetapkan.

Sebuah bentuk sosialisasi yang cerdas menurut saya. Kenapa?, karena produk smart phone ini memang laris manis di pasaran, tiga operator telekomunikasi besar ikut memasarkannya dan penggunanya pun sudah mencapai ratusan ribu.. Harapannya tentu saja, produk-produk telekomunikasi dan elektronik lainnya seperti VCD, DVD, VCR, Amplifier, Home Theater, Cakram Optik Kosong dan Isi, Water Dispenser, Faksimili, Frizer Rumahan, Kamera Digital/Video dan lainnya seperti yang tercantum dalam lampiran 1 dari peraturan tersebut, dan terutama bagi produsen yang belum memenuhi ketentuan-ketentuan peraturan tersebut, untuk segera menyiapkan diri. Karena jika tidak, pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan dan izin teknis lainnya sebagai sanksinya akan dikenakan.

Setelah beberapa lama kasus antara Kementrian Perdagangan dengan Research in Motion (RIM) ini menjadi perbincangan dan meresahkan baik pengguna BlackBerry maupun Operator Telekomunikasi yang menjualnya, pada hari Kamis 9 Juli, lewat seorang juru bicaranya, Research in Motion (RIM) memastikan tanggal pembukaan kantor layanan purna jualnya. Kantor ini akan dibuka dan beroperasi pada tanggal 26 Agustus 2009, tepat 3 bulan setelah peraturan menteri tersebut diatas ditetapkan. Rupanya janji ini belum juga memuaskan bagi pemerintah. Departemen Komunikasi dan Informasi sebagai departemen teknis yang mengeluarkan sertifikat impor BlackBerry menilai apa yang dijanjikan oleh RIM belum cukup, Departemen Perdagangan kembali menegaskan bahwa RIM harus membuka kantor layanan purna jualnya paling lambat Rabu, 15 Juli 2009. Tenggat waktu tinggal satu hari, apa yang akan menjadi hasil dan kesimpulan dari kasus ini?, kita tunggu saja. Namun demikian, apapun hasil dan kesimpulan dari kasus ini, apa yang telah dan sedang dilakukan oleh Departemen Perdagangan dan Departemen Komunikasi dan Informasi sebagai departemen teknis dalam usaha melindungi hak konsumen/pengguna produk RIM, patut diacungi jempol dan diapresiasi.

Lalu apa hubungan antara kasus yang berkaitan dengan BlackBerry ini dengan Tabung Gas?

Sebuah rumah makan Soto Lamongan di Kedoya, Jakarta Barat terbakar dan menewaskan 7 orang. Kejadian ini masih dalam investigasi pihak kepolisian. Patut diperhatikan apa yang disampaikan oleh Kapolsek Kebon Jeruk, seperti yang dikutip oleh Kompas.com, bahwa berdasarkan keterangan para saksi dan hasil pemeriksaan sementara Puslabfor, ada kemungkinan kebocoran yang berasal dari tabung gas menjadi penyebab terjadinya kebakaran yang mengenaskan tersebut. Dugaan kebocoran tabung gas menjadi penyebab terjadinya sebuah kebakaran bukan baru sekali ini saja mengemuka. Kualitas dari tabung gas yang beredar di pasar dan masyarakat sebagai pengguna menjadi sebuah pertanyaan dan sekaligus kekhawatiran.

Dalam menjawab pertanyaan dan kekhawatiran tersebut, Departemen Perdagangan berencana akan melakukan inspeksi terhadap empat produsen tabung gas dari sepuluh produsen yang mendapatkan kontrak pembuatan tabung gas. Inspeksi ini akan difokuskan untuk memonitor aspek keselamatan dari tabung gas beserta proses produksinya dan memastikan bahwa standar nasional yang terkait dengan kualitas tabung gas dapat dipenuhi oleh para produsen.

Inspeksi ini sangat strategis, terutama jika dikaitkan dengan program konversi minyak tanah ke gas dan tentu saja keselamatan dari masyarakat sebagai pengguna, terutama golongan masyarakat yang menggunakan tabung gas ukuran 3 kg, sasaran utama dari program konversi tersebut.

Jika kita bandingkan antara pengguna BlackBerry yang berjumlah ratusan ribu dan tentu saja masuk dalam kategori rakyat Indonesia yang mampu, dengan pengguna tabung gas ukuran 3 kg yang didominasi oleh rakyat, yang hampir pasti tidak menggunakan BlackBerry, berjumlah jutaan pula, akan didapatkan sebuah gambaran yang menarik. Belum lagi jikalau kenyataan bahwa yang menggunakan BlackBerry pun adalah pengguna tabung gas yang sama juga ikut menjadi konsideran. Supaya gambaran tersebut menjadi semakin menarik dan berwarna-warni, bagaimana jika pertanyaan “kasus manakah yang mendapatkan perhatian lebih dan menjadi prioritas dari pemerintah?”, juga kita tampilkan dalam gambar yang sama. Selamat menggambar, saya ucapkan kepada sidang pembaca.




Read more...

Thursday, July 9, 2009

Situ Patenggang di Masa Tenang

Permohonan cuti sudah disetujui, tinggal persiapan ala kadarnya terus langsung cabut. Libur anak-anak tinggal seminggu lagi, harus dimanfaatkan dengan seoptimal mungkin. Setelah cuma ngendon dirumah dan bermain di dalam dan sekitarnya saja, bosan terasa juga. Pak masak liburan di rumah saja kata anak-anak suatu ketika. Ndilalah kok pas dengan masa tenang pemilu presiden dan wakilnya, jalanan tentunya lebih lengang dan kemungkinan bertemu dengan truk, bus atau kendaraan yang digunakan oleh para pendukung capres yang sedang kampanye, tentunya sudah tak ada. Liburan dan masa tenang telah tiba.

Agak telat memang kita berangkat dari rumah, tapi tak mengapa. Toh pada akhirnya kita mencapai daerah yang kita tuju lebih cepat dari perkiraan semula. Jalanan relative sepi, kecuali daerah seputaran Kopo,Bandung. Tak usah heran, kawasan ini memang sudah terkenal dengan kemacetannya. Begitu keluar dari tol padalarang – cileunyi, belok kanan menuju Soreang, antrean kendaraan sudah dimulai. Maklum saja, penyempitan jalur terjadi sepanjang jalan. Semua badan jalan sudah terpakai, nyaris tak ada ruang tersisa untuk trotoar.


Jam tangan menunjukkan pukul 11:30, Senin, 6 Juli 2009 ketika kami sampai di tempat penginapan. Setelah check-in, kami memutuskan untuk segera berangkat menuju obyek wisata pertama. Udara segar dan dingin terasa, kaca jendela dibuka. Jalan menanjak dua jalur untuk dua arah, harus berhenti ketika angkot berhenti menurunkan atau menaikkan penumpang. Belum lagi kalau pas kita berada persis di belakang truk atau bus, harus ekstra hati-hati. Sesekali terlihat motor berhenti di pinggir jalan, sepasang muda-mudi membelakangi tak mau mudah dikenali. Sebelah kiri tebing, sebelah kanan jurang tak jarang dilewati. Perkebunan strawberry terlihat hampir sepanjang jalan, seorang di depan gerbang melambaikan tangan mengajak untuk sekedar berhenti, melihat kebun dan memetik strawberry, ditimbang dan transaksi pun terjadi. Kami tak berhenti.

Pemandangan sungguh indah, hijau daun teh, kontur tanah dan batuan yang terkadang seolah menyembul dari tanah entah bagaimana caranya dan kapan terjadinya. Subhanallah. Pintu masuk sudah didepan mata. Petugas melongok ke dalam mobil dan menyebut sebuah angka. Uang diberikan, karcis masuk pun didapatkan sebagai gantinya. Turun terus sepanjang hijau daun teh, jalan kecil yang terkadang berlubang di sana sini. Mobil menepi di area kosong sebuah parkiran, sebuah rumah di sebelah kiri dan air tepat di depan mata, banyak jumlahnya.

Entah kenapa kebanyakan orang lebih senang menyebutnya Situ Patenggang, padahal situs wisata ini sebenarnya bernama Situ Patengan. Menurut cerita rakyat, tersebutlah dua orang anak manusia keturunan dewa yang saling mencinta, begitu dalam mestinya. Ki Santang dan Dewi Rengganis saling mencari, sayang tak jelas pula alasan terpisahnya mereka. Akhirnya mereka pun bertemu di sebuah tempat yang kelak disebut sebagai Batu Cinta. Dewi Rengganis meminta dibuatkan sebuah danau dan perahu untuk mengelilinya. Pulau tersebut disebut Pulau Asmara. Siapa saja yang singgah di Batu Cinta dan mengelilingi Pulau Asmara, cinta abadi dan mendalam seperti yang dimiliki Ki Santang dan Dewi Rengganis akan menjadi berkahnya. Duh indahnya. Kami pun naik sebuah perahu dayung untuk menuju Batu Cinta dan mengelilingi Pulau Asmara.



Karena saya lupa menanyakan namanya, kita sebut saja Mang Oyo. Mang Oyo mendayung perahu yang kami tumpangi. Kata Mang Oyo, ada 33 perahu yang beroperasi di Situ Patenggang. Enam diantaranya bermotor. Ukuran perahu rata-rata sama, bisa menampung kira-kira 15 penumpang. Ketika ditanyakan kenapa cuma enam yang bermotor, jawabnya ini aturan dari Koperasi. Semua perahu dimiliki Koperasi dan disewakan. Mang Oyo ini harus menyetor hasil menyewakan dan mendayung perahu kepada Koperasi. Sehari cuma dapat jatah sekali. Pekerjaan menyewakan dan mendayung perahu ini cuma sambilan saja., menjadi pemetik daun teh adalah yang utama. Ceritanya lagi, sehari kira2 bisa memetik 50 kg daun teh, dan hanya kira2 10 kg saja pada saat musim kemarau. Satu kilogram daun teh dihargai Rp. 350,00. Hitung sendiri berapa yang bisa dibawanya pulang setiap harinya. Produk teh yang dihasilkan perkebunan ini dikenal dan dijual dengan nama Teh Walini. Enak lho tehnya, cobain aja kalau nggak percaya.



Ah minum bandrek setelah mengelilingi situ tentu uenaak mestinya. Siapa tahu bisa membantu melawan dinginnya udara. Merek bandrek yang bisa dijumpai di warung-warung di sekitar situ adalah bandrek Abah. Bandrek Abah ini mulai diproduksi sejak tahun 1982, tanpa bahan pengawet dan ada expire datenya. Jangan lupa “Kocok Sebelum di Konsumsi” seperti yang tertulis di label baru yang terpasang di tiap botolnya.



Warung-warung di seputaran Situ ada puluhan jumlahnya. Mulai yang menawarkan sekedar gorengan, strawberry segar, juice strawberry botolan, ayam goreng dan bakar, bakso, dan cindera mata. Tak ada yang menarik saya untuk membelinya, sayang ya, sebenarnya dengan membelinya kan bisa menaikkan tingkat konsumsi pasar dalam negeri yang pada akhirnya memberikan kontribusi terhadap positifnya angka pertumbuhan ekonomi, cuma tiga negara di Asia lho yang angka pertumbuhan ekonominya tetap positif dan tak mengalami kontraksi walaupun krisis sedang melanda dunia, hebat kan Indonesia….hahahaha. Perjalanan saya terhenti di depan sebuah warung yang menawarkan kaca mata. Lihat sendiri photonya, anda pasti bisa menebak apa alasan saya berhenti di depannya.



Waktunya pergi meninggalkan Situ tiba, sudah pukul 14:30,saatnya menuju obyek wisata kedua seperti dalam rencana. Ternyata di pintu keluar seorang pengamen sudah menyiapkan lagu perpisahan sekaligus ajakan untuk kembali datang, entah kapan.





Read more...

Thursday, July 2, 2009

Garuda Di Dadaku

Untung ada Ikranegara. Itu yang ada di kepala begitu selesai nonton film Garuda di dadaku. Tapi pikiran ini segera aku pinggirkan ketika anakku kelihatan senang, beranjak dari kursinya. Bagus ya Pak filmnya?, besok main bola lagi aaah. Saya tersenyum mengiyakan. Sesampai di rumah dan setelah anak-anak tidur menjemput mimpi mereka, saya utarakan pendapat tadi ke belahan jiwa alias ibunya anak-anak. Rupanya, pendapatnya kurang lebih sama juga. Yang penting kan anak-anak senang menontonnya. Mungkin karena capek, seperti itu saja tanggapannya.

Tapi bener lo, film ini tertolong oleh aktingnya Ikranegara, sementara yang lain sih aktingnya biasa-biasa aja. Ramzi oke juga lah, celetukan2 Arab-Betawinya mampu menyegarkan jalinan cerita. Rasa-rasanya konflik yang dibangun kok terlalu gampang diselesaikan. Rasa-rasanya juga, pesan titipan dari sebuah shampoo terasa terlalu vulgar disampaikan. Belum lagi untuk seorang anak yang berumur 13 tahun, “kebohongan-kebohongan” yang disajikan untuk mengelabui kakeknya sungguh terasa kecanggihan. Apa saya yang ketinggalan ya?, bahwa ternyata anak-anak sekarang memang lebih pintar dibandingkan jaman saya….hahahahaha.


Konflik yang ada beserta pesan-pesan moral yang ingin disampaikan, sebenarnya mempunyai potensi yang dapat menyedot simpati penonton. Bagaimana tidak?, seorang anak (Bayu) yang punya bakat main bola dan mimpi untuk bermain sebagai Timnas Indonesia, sementara Kakek yang ikut merawatnya punya trauma terhadap bola. Sebuah trauma karena anaknya sendiri (Bapaknya Bayu) yang juga punya hobi dan bakat bola, mengalami cedera justru pada saat mengikuti seleksi TimNas dan cedera ini yang membuat karir bolanya terhenti. Cedera seperti apa sih yang membuat karir bolanya terhenti?, ini tidak tersampaikan, yang jelas Bapaknya Bayu ketika meninggal profesinya adalah sopir taksi. Menurut sang Kakek yang pensiunan pegawai Pertamina, sopir taksi adalah sebuah profesi yang tidak identik dengan gambarannya tentang sebuah “kesuksesan”. Ini yang menjadi trauma sang Kakek. Oleh karenanya, Bayu yang merupakan cucu satu2nya harus dijauhkan dari bola. Menjadi pemain bola tidak akan mengantarkannya kepada “kesuksesan” itu tadi. Dalam sebuah adegan, sang Kakek berujar dengan sinisnya,”jangan jadi pemain bola apalagi di Indonesia, walaupun sekarang pemain bola dibayar mahal, kalau cedera bagaimana?, lha wong yang cuma nonton aja juga mungkin cedera”. Nah lho, gimana tuh PSSI?

Film ini, sebetulnya perjuangan Bayu menggapai mimpinya menjadi pemain Timnas dan pada saat yang sama ingin menyampaikan pesan bahwa apa yang menurut orang tua baik bagi seorang anak atau cucu, ternyata belum tentu baik bagi si anak atau cucu itu sendiri. Bagaimanapun, seorang anak atau cucu itu mempunyai dunianya sendiri, dan dunia mereka ini sungguh masih sangat susah dimengerti dan dipahami oleh sebagian dari kita yang lebih tua dibandingkan dari mereka. Film ini sebenarnya juga ingin membedah tentang stereotip pemikiran, gambaran dan definisi tentang “sukses”. Sukses yang dimengerti, dipahami dan diyakini oleh kebanyakan orang tua. Sebuah kegagapan generasi tua untuk menghadapi dan menyikapi generasi yang lebih muda. Kahlil Gibran menggambarkan kegagapan ini dengan indahnya.

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.
Mereka adalah putra putri dari kehidupan yang merindukan dirinya sendiri,

Mereka datang melaluimu tetapi bukan darimu,
Dan walaupun mereka tinggal bersamamu, mereka bukanlah milikmu.

Kau dapat memberikan kasih-sayangmu tetapi tidak pikiranmu,
Karena mereka mempunyai pemikiran sendiri.

Kau dapat memberikan tempat untuk raga tetapi tidak untuk jiwa mereka,
Karena jiwa mereka menghuni rumah masa depan, yang tak dapat kau kunjungi, bahkan tak juga dalam mimpi-mimpimu.

Kau dapat berupaya keras untuk menjadi seperti mereka, tetapi jangan mencoba membuat mereka sepertimu,
Karena kehidupan tidak berjalan ke belakang juga tak tinggal di masa lalu.

Kau adalah busur dari mana anak-anakmu melesat ke depan sebagai anak panah hidup…
Sang pemanah melihat sasaran di atas jalur di tengah keabadian, dan DIA meliukkanmu dengan kekuatanNYA sehingga anak panahNYA dapat melesat dengan cepat dan jauh.

Biarkanlah liukkanmu di tangan sang pemanah menjadi keceriaan;
Bahkan DIA pun mengasihi anak panah yang terbang, demikian juga DIA mengasihi busur yang mantap.


Film ini juga berupaya untuk menyampaikan kritik. Perjuangan Bayu untuk mencari sebuah lapangan bola yang dapat dijadikan sebagai tempat latihan, sungguh luar biasa. Maklum hampir setiap jengkal tanah yang ada di Jakarta ini sudah jadi beton, kalaupun masih ada yang berupa tanah yang berumput, sudah dipagarin dan digembok orang. Ini masalah kita sebagai bangsa. Pertanyaan bagaimana kita mengatur tata ruang dan wilayah, sampai sekarang belum terjawab dengan tuntas. Kalapun kita sudah berusaha menjawabnya, kita baru sekedar menjawabnya. Antara apa yang menjadi jawaban kita dan apa yang kita lakukan masih belum sejalan. Contoh yang masih terekam diingatan adalah kasus Lumpur Sidoarjo dan Situ Gintung.

Jadi sekali lagi, tema yang dicoba untuk disampaikan sebenarnya mempunyai potensi yang lebih untuk dieksplorasi, dibandingkan dengan apa yang telah disajikan.

Tapi ya, mbuh ra ruh. Toh bagi saya dan belahan jiwa, dan mungkin juga anda para orang tua, yang penting anak-anak senang menontonnya, pas liburan sekolah lagi. Entah bagi produser dan sutradaranya.




Read more...

Tuesday, June 30, 2009

Seorang Remaja (dari Cirebon) Bertahun Kemudian

Cirebon, sebuah kota di pantai utara Jawa. Apa coba yang ada di otak anda ketika orang menyebut nama “Cirebon”?. Nasi Jamblang, nasi lengko, empal gentong, tahu gejrot, perkampungan nelayan, kota udang, pemandian air hangat di Kuningan, lapangan terbang Kalijati, you name it. Pendek kata, banyak hal yang bisa diasosiasikan dengan Cirebon.

Semuanya dimulai di abad 14, Muara Jati nama sebuah perkampungan nelayan. Seorang yang bernama Ki Gedeng Tapa dipercayakan menjadi pemimpin perkampungan yang sekaligus menjadi pelabuhan bagi Kerajaan Galuh. Banyak kapal berdatangan, garam, hasil pertanian dan terasi menjadi primadona perdagangan.

Ki Gedeng Tapa juga mendirikan sebuah pemukiman di lemah wungkuk, kurang lebih 5 km selatan Muara Jati. Gelar Kuwu Cerbon diberikan kepadanya. Setelah wafat, kepemimpinannya dilanjutkan oleh menantunya, Walangsungsang, yang kelak diangkat menjadi Adipati Cirebon dengan gelar Cakrabumi.

Kewajiban untuk mengirimkan upeti nampaknya memberatkan bagi Cakrabumi, setelah dirasa kuat secara ekonomi dan militer, dihentikanlah tradisi pengiriman upeti tersebut. Pertempuran terjadi, Cakrabumi memegang kendali. Sebuah Kerajaan baru didirikan dengan nama Cirebon dan gelar barunya pun diumumkan, Cakrabuana.


Karena letaknya yang berbatasan dengan Jawa Tengah, sebagian penduduk Cirebon bisa berbahasa Jawa dan sebagian lainnya berbahasa Sunda. Beberapa dari mereka malah menguasai keduanya. Maka tak heran jika Cirebon juga terkenal dengan sebutan “Caruban”, yang artinya campuran. Ini tentu saja masuk akal, mengingat bahwa penduduk Cirebon merupakan campuran dari keturunan Jawa, Melayu, Sunda, Cina dan Arab, yang tentu saja menciptakan budaya caruban itu tadi.

Sebuah perkampungan nelayan telah berubah menjadi sebuah kota penting kedua setelah Bandung, sebagai ibukota propinsi Jawa Barat. Letaknya yang berada di jalur utama utara pulau Jawa meneguhkan nilai penting dan kestrategisannya.

Kalender penanggalan menunjukan tanggal 5 Agustus 1989. Daerah sekitaran Dago seakan memutih, maklum banyak yang mengenakan seragam putih-putih. Dasi hitam juga tak ketinggalan. Senyum pun bertaburan, maklum hari pertama kuliah, setelah rangkaian panjang kelulusan SMA, UMPTN, daftar ulang akhirnya hari pertama itu pun tiba.

Hari itu juga merupakan hari di mana kesempatan mengenal lebih jauh tentang Cirebon seolah terbuka. Seorang remaja dari Cirebon, tinggi di atas rata-rata, sawo matang, dengan potongan rambut cepak, “njegrak” kata orang jawa, dan senyumnya yang renyah, seakan memberi gambaran yang lain dan mendalam tentang budaya caruban. Logat Sunda yang demikian kentalnya, tapi toh bahasa jawa pun bisa. “Nama saya Gunawan, asli Cirebon, hobi saya main voli” begitu katanya ketika saat perkenalan tiba.

Bola voli di kampus ini seolah selalu didominasi oleh jurusan lain seperti Mesin, Sipil dan Geologi. Tanpa mengecilkan peran anggota tim lainnya seperti Chandra Jamil Dalimunthe, Arnold Makasau Rivai, dlsbg, semenjak bergabungnya Gunawan kedalam tim bola voli HMFT, peta kekuatan itu berubah. Nama HMFT semakin sering terdengar dibicarakan di GKU, Student Centre, dimanapun perbincangan yang menyangkut UBV Cup, sebuah turnamen bola voli tahunan antar himpunan dibicarakan. Saya ingat betul, ketika suatu saat HMFT berhadapan lawan HIMAFI. Setiap saat bola dimenangkan oleh HIMAFI gumaman, “nggak papa toh kita menang teknik”, seringkali terdengar keluar dari kerumunan supporter HMFT seakan membela diri.

Tak cukup hanya di kampus saja, Gunawan juga memberikan kontribusinya di lingkungan tempat tinggalnya. Hampir semua kegiatan seperti peringatan 17-an, Karang Taruna diikutinya dengan sepenuh hati. Kontribusi dan keikhlasannya dalam beraktifitas ini lah yang membuatnya pernah mendapatkan tawaran untuk menjadi RT di lingkungan tempat tinggalnya. Sebuah kehormatan mengingat usianya yang masih tergolong belia dan keengganan hampir setiap orang untuk mengemban kewajiban yang melekat kepadanya.

Tapi hidup memang kadang terasa tidak adil, tapi semangat hidup tetap haruslah tinggi. Kehidupan seperti tidak sedang memihaknya, tapi segala daya dan upaya harus tetap dicoba. Berjualan sepatu doc mart cibaduyut, membuka persewaan computer, manggung sebagai crew karawitan cirebonan di acara kawinan adalah wujud daya dan upaya itu. Adalah wajibnya manusia berusaha, sementara hasilnya, lillahita’ala.

Seruling bambu yang sering dimainkan Gunawan di sela-sela jam kuliah, seperti membantu menjawab keresahan-keresahan hidup dan pada saat yang sama berteriak menantang ketidak berpihakan itu. Merdu mendayu sekaligus mengharu biru.

Harus kita sadari bahwa setiap manusia selalu mempunyai “ruang sunyi” dalam dirinya. Sebuah ruang yang tak semua orang, termasuk kawannya sendiri pun perlu tahu, karena memang “ruang sunyi” itu hanya untuk dirinya dan Sang Maha Sunyi yang memilikinya. Demikian pula dengan Gunawan, tak banyak yang kami tahu.

Doa tulus kami panjatkan, selamat jalan untuk Gunawan, seorang remaja (dari Cirebon) bertahun kemudian.


Read more...