Saturday, November 7, 2009

DAN SAYA?, TAK KUASA BERBUAT APA-APA

Hal pertama yang hendak ingin saya sampaikan adalah permohonan ampun saya kepada Tuhan yang menguasai gejolak hati setiap manusia, Tuhan yang telah menciptakan makhluk yang menurut penilaian Malaikat, hanya akan menimbulkan kerusakan di muka bumi ini, Tuhan yang dengan caraNya telah mengajarkan kepada Musa AS bahwasanya apa yang nampak kejam terang benderang, mengandung misteri kebaikan, lewat pertemuan dan perjalanannya dengan Khidir AS.

Kenapa permohonan ampun yang saya dahulukan?, karena saya tak kuasa berbuat apa-apa. Apa yang terjadi selama hampir dua minggu terakhir ini sungguh diluar jangkauan pikiran dan logika saya, dan tentu saja bisikan-bisikan halus dan sunyi tentang kebenaran dan keadilan yang sering saya biarkan lalu begitu saja, karena kesibukan memanjakan hasrat pribadi.

Sebuah panggung telah digelar di hadapan kita semua, rakyat Indonesia. Rakyat yang kadang kala dianggap cerdas, akan tetapi di lain kesempatan dan konteks, dianggap mudah untuk mengalami kebingungan dan oleh karenanya harus diberikan informasi yang “benar”, disayang dan dibujuk supaya tak ikut larut dalam pertikaian elit yang entah apa ujungnya dan seringkali tak mengubah apa-apa. Benar menurut siapa dan benar untuk apa, tak ada yang berani memastikan jawabannya. Rakyat Indonesia yang cerdas dan tidak cerdas, tergantung konteksnya.

Sebuah panggung pencitraan kelas tinggi dengan lakon yang menggetarkan. Dan seperti lakon-lakon besar lainnya yang pernah tercatat dalam sejarah dunia, ini juga lakon tentang bagaimana kebenaran diperebutkan, bagaimana kesalahan, keserakahan, hasrat primitif kekuasaan, pelacuran intelektualitas menemukan panggungya. Dan itu semua, katanya, demi hukum dan sekali lagi demi rakyat Indonesia dan hajat hidupnya.

Sebuah panggung dimana siapa yang mampu mengolah rasa dan mendapat simpati penontonnya sebagai pihak yang paling menderita dan terzhalimi, akan meninggalkan panggung dengan sebuah kemenangan dan “kebenaran” yang diperebutkan itu, pada saat lakon itu selesai nanti. Dan kebenaran pun pada akhirnya sudah tereduksi.

Sebuah panggung dimana suara rakyat menghilang entah kemana, seolah enggan menemui pihak-pihak yang seharusnya merangkul, menyayanginya dan meng-artikulasikannya. Atau justru sebaliknya, suara rakyat itu ada dimana-mana, di kolong jembatan, di kolong jalan tol, di pinggir sungai, di dalam rumah-rumah kumuh, di bau busuk sampah yang menggunung, di pekatnya asap knalpot kendaraan yang berhenti ditahan kemacetan jalan yang tak kunjung terurai, di trafo-trafo distribusi PLN, di situ-situ yang terbengkalai kurang perawatan, dimana-mana. Akan tetapi pihak yang seharusnya merangkul, menyayanginya, dan meng-artikulasikannya, justru tak bisa merasakannya dan memalingkan muka ketika secara tak sengaja bertemu dengannya, dan asyik larut dalam sandiwara.

Benar bahwa tak seorangpun yang terlibat dalam lakon ini adalah malaikat, sehingga klaim-klaim tentang “kebenaran” yang mereka sampaikan mungkin juga mengandung kesumiran. Terus siapa yang seharusnya memisahkan serpihan-serpihan kebenaran itu dari lumbung kesumiran, membersihkannya dan merangkainya menjadi sebuah bingkai fakta? Pemimpin katanya. Sayang sampai sejauh ini pertunjukkan belum juga memperlihatkan, siapa sebenarnya sang pemimpin itu. Yang dipertontonkan sampai sejauh ini adalah seseorang yang berbisik tentang norma-norma, dan hanya dalam batas itu saja. Serpihan-serpihan kebenaran itu masih berserakan tertimbun di dalam lumbung kesumiran yang sebenarnya ada dalam genggamannya.


Dan saya?, tak kuasa berbuat apa-apa.


Read more...