Monday, August 17, 2009

THE FREEDOM WRITERS: SEBUAH CERMIN BAGI INDONESIA KONTEMPORER

Menjalani hidup dengan penuh prasangka buruk dan saling curiga bukanlah hidup yang sebenarnya. Bukan pula hidup yang ingin kita jalani dan akan kita wariskan bagi anak cucu kita, kelak di kemudian hari. Tapi bagaimana jika prasangka buruk dan saling curiga tersebut justru diwariskan oleh kakek dan nenek, secara turun temurun dan tak berkesudahan?. Bagaimana pula semua ini bisa diakhiri?. Sebuah potensi besar yang bernama “diversity” dan pada saat yang sama, sebuah tantangan besar yang disebut “integration”.

Long beach, California, Amerika Serikat periode 1992-1995. Sebuah periode yang memilukan dan sekaligus menarik untuk disimak, sebuah periode yang bercerita banyak dengan cara yang buram tentang “diversity” dan “integration”. Sebuah periode dimana kekerasan antar rasis terjadi hampir setiap hari, dimana saja dan seringkali tanpa disertai sebab yang jelas. Di depan rumah, di jalanan, di sekolah, pertokoan. Dini hari buta, pagi, siang dan malamnya mempertontonkannya. Nyawa seperti tak berharga, hilang dengan mudahnya. Seorang anak dengan mata kepalanya sendiri meyaksikan ayahnya ditangkap polisi entah apa alasannya, seorang anak dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan orang tuanya, tiba-tiba ditembak di depan rumah oleh gangster entah karena apa. Labelisasi tak berdasar, prasangka buruk dan balas dendam yang secara turun temurun diwariskan menjadi “udara” yang dihirup masyarakatnya. “Protect our own” menjadi tata nilai yang dianut masing-masing kelompok yang ada.


Sebuah inisiatif yang disebut “Integration” diluncurkan di bidang pendidikan, mencoba untuk menghapus situasi. Sekolah-sekolah menengah diharuskan menerima, menampung dan mendidik semua ras yang ada di masyarakat Long Beach. Sebuah inisiatif yang didasari sebuah keyakinan bahwa jika sekat-sekat prasangka-prasangka, disparitas-siapritas, dan “protect our own” sebagai tata nilai di masyarakat dapat dihilangkan sejak dan di sekolah-sekolah menengah, maka hal yang sama pun akan hilang di dalam masyarakat itu sendiri, suatu saat nanti.

Inisiatif ini berjalan tertatih-tatih,…untuk tidak menyebutnya sebagai berjalan di tempat dan tanpa efek positif yang diharapkan, menunjukkan bentuknya. Ini terlihat dengan jelas di salah satu sekolah menengah Woodrow Wilson high School. Murid-murid dan guru-guru seperti kehilangan arah, asa mereka, dan hari-hari di sekolah tetap saja dijalani dalam situasi dimana “protect our own” menjadi tata nilai di dalamnya. Sebuah inisiatif yang justru dalam kenyatannya memberikan ruang tambahan bagi tata nilai tersebut untuk semakin tumbuh berkembang tidak hanya di jalanan, di pertokoan, di perumahan, tapi sekarang juga di sekolahan. Dan oleh karenanya, inisiatif ini gagal dengan sendirinya.

Dunia tak berhenti berputar, dan tidak pula Tuhan tidur dengan kuasanya. Manusia sebagai ciptaanNYA sendiri lah yang harus memulai perubahan itu dengan kesadaran, komitmen dan caranya sendiri. Lewat seorang Erin Gruwell, seorang “student teacher”, bersama-sama dengan 150 muridnya, sebuah inisiatif yang gagal dan sekaligus buram tersebut, berhasil memberikan secercah cahaya di ujung lorong panjang buram yang dipenuhi udara “labelisasi tak berdasar, prasangka buruk dan balas dendam”.

Kisah nyata tentang Erin Gruwell dan 150 muridnya menjadi referensi sebuah film drama yang berjudul “FREEDOM WRITERS”, dibintangi oleh Hillary Swank dan direlease tahun 2007 lalu. Sebuah film yang mencoba melakukan visualisasi apa yang dilakukan dan diperjuangkan oleh mereka, tentang kebuntuan system birokrasi, keterbatasan resources, mentransformasi “diversity” dari hanya sebagai sumber masalah menjadi potensi, menawarkan sebuah metode proses “integration”, bagaimana “adversity quotient” memberikan jawaban dan tentu saja menghapus “protect our own” sebagai tata nilai yang berlaku di setiap kelas yang ada di Woodrow Wilson high School, Long beach, California.

Bangsa Indonesia, dalam tingkatan yang berbeda, menghadapi permasalahan yang sama. Proses integrasi di segala bidang yang belum selesai dan masih merupakan sebuah pekerjaan rumah yang paling besar dan komplek, kebuntuan system birokrasi dan proses reformasinya yang belum purna, kegagapan dalam melakukan transformasi “diversity” yang dimilikinya menjadi potensi, “adversity quotient” yang tak nampak jelas dimiliki oleh pemimpin-pemimpinnya, dan persoalan tata nilai yang masih membingungkan.

Meminjam ungkapan almarhum WS Rendra, “KERJA BELUM SELESAI dan Orang-orang harus dibangunkan”.

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA yang ke 64 tahun, MERDEKA.




Read more...