Thursday, July 9, 2009

Situ Patenggang di Masa Tenang

Permohonan cuti sudah disetujui, tinggal persiapan ala kadarnya terus langsung cabut. Libur anak-anak tinggal seminggu lagi, harus dimanfaatkan dengan seoptimal mungkin. Setelah cuma ngendon dirumah dan bermain di dalam dan sekitarnya saja, bosan terasa juga. Pak masak liburan di rumah saja kata anak-anak suatu ketika. Ndilalah kok pas dengan masa tenang pemilu presiden dan wakilnya, jalanan tentunya lebih lengang dan kemungkinan bertemu dengan truk, bus atau kendaraan yang digunakan oleh para pendukung capres yang sedang kampanye, tentunya sudah tak ada. Liburan dan masa tenang telah tiba.

Agak telat memang kita berangkat dari rumah, tapi tak mengapa. Toh pada akhirnya kita mencapai daerah yang kita tuju lebih cepat dari perkiraan semula. Jalanan relative sepi, kecuali daerah seputaran Kopo,Bandung. Tak usah heran, kawasan ini memang sudah terkenal dengan kemacetannya. Begitu keluar dari tol padalarang – cileunyi, belok kanan menuju Soreang, antrean kendaraan sudah dimulai. Maklum saja, penyempitan jalur terjadi sepanjang jalan. Semua badan jalan sudah terpakai, nyaris tak ada ruang tersisa untuk trotoar.


Jam tangan menunjukkan pukul 11:30, Senin, 6 Juli 2009 ketika kami sampai di tempat penginapan. Setelah check-in, kami memutuskan untuk segera berangkat menuju obyek wisata pertama. Udara segar dan dingin terasa, kaca jendela dibuka. Jalan menanjak dua jalur untuk dua arah, harus berhenti ketika angkot berhenti menurunkan atau menaikkan penumpang. Belum lagi kalau pas kita berada persis di belakang truk atau bus, harus ekstra hati-hati. Sesekali terlihat motor berhenti di pinggir jalan, sepasang muda-mudi membelakangi tak mau mudah dikenali. Sebelah kiri tebing, sebelah kanan jurang tak jarang dilewati. Perkebunan strawberry terlihat hampir sepanjang jalan, seorang di depan gerbang melambaikan tangan mengajak untuk sekedar berhenti, melihat kebun dan memetik strawberry, ditimbang dan transaksi pun terjadi. Kami tak berhenti.

Pemandangan sungguh indah, hijau daun teh, kontur tanah dan batuan yang terkadang seolah menyembul dari tanah entah bagaimana caranya dan kapan terjadinya. Subhanallah. Pintu masuk sudah didepan mata. Petugas melongok ke dalam mobil dan menyebut sebuah angka. Uang diberikan, karcis masuk pun didapatkan sebagai gantinya. Turun terus sepanjang hijau daun teh, jalan kecil yang terkadang berlubang di sana sini. Mobil menepi di area kosong sebuah parkiran, sebuah rumah di sebelah kiri dan air tepat di depan mata, banyak jumlahnya.

Entah kenapa kebanyakan orang lebih senang menyebutnya Situ Patenggang, padahal situs wisata ini sebenarnya bernama Situ Patengan. Menurut cerita rakyat, tersebutlah dua orang anak manusia keturunan dewa yang saling mencinta, begitu dalam mestinya. Ki Santang dan Dewi Rengganis saling mencari, sayang tak jelas pula alasan terpisahnya mereka. Akhirnya mereka pun bertemu di sebuah tempat yang kelak disebut sebagai Batu Cinta. Dewi Rengganis meminta dibuatkan sebuah danau dan perahu untuk mengelilinya. Pulau tersebut disebut Pulau Asmara. Siapa saja yang singgah di Batu Cinta dan mengelilingi Pulau Asmara, cinta abadi dan mendalam seperti yang dimiliki Ki Santang dan Dewi Rengganis akan menjadi berkahnya. Duh indahnya. Kami pun naik sebuah perahu dayung untuk menuju Batu Cinta dan mengelilingi Pulau Asmara.



Karena saya lupa menanyakan namanya, kita sebut saja Mang Oyo. Mang Oyo mendayung perahu yang kami tumpangi. Kata Mang Oyo, ada 33 perahu yang beroperasi di Situ Patenggang. Enam diantaranya bermotor. Ukuran perahu rata-rata sama, bisa menampung kira-kira 15 penumpang. Ketika ditanyakan kenapa cuma enam yang bermotor, jawabnya ini aturan dari Koperasi. Semua perahu dimiliki Koperasi dan disewakan. Mang Oyo ini harus menyetor hasil menyewakan dan mendayung perahu kepada Koperasi. Sehari cuma dapat jatah sekali. Pekerjaan menyewakan dan mendayung perahu ini cuma sambilan saja., menjadi pemetik daun teh adalah yang utama. Ceritanya lagi, sehari kira2 bisa memetik 50 kg daun teh, dan hanya kira2 10 kg saja pada saat musim kemarau. Satu kilogram daun teh dihargai Rp. 350,00. Hitung sendiri berapa yang bisa dibawanya pulang setiap harinya. Produk teh yang dihasilkan perkebunan ini dikenal dan dijual dengan nama Teh Walini. Enak lho tehnya, cobain aja kalau nggak percaya.



Ah minum bandrek setelah mengelilingi situ tentu uenaak mestinya. Siapa tahu bisa membantu melawan dinginnya udara. Merek bandrek yang bisa dijumpai di warung-warung di sekitar situ adalah bandrek Abah. Bandrek Abah ini mulai diproduksi sejak tahun 1982, tanpa bahan pengawet dan ada expire datenya. Jangan lupa “Kocok Sebelum di Konsumsi” seperti yang tertulis di label baru yang terpasang di tiap botolnya.



Warung-warung di seputaran Situ ada puluhan jumlahnya. Mulai yang menawarkan sekedar gorengan, strawberry segar, juice strawberry botolan, ayam goreng dan bakar, bakso, dan cindera mata. Tak ada yang menarik saya untuk membelinya, sayang ya, sebenarnya dengan membelinya kan bisa menaikkan tingkat konsumsi pasar dalam negeri yang pada akhirnya memberikan kontribusi terhadap positifnya angka pertumbuhan ekonomi, cuma tiga negara di Asia lho yang angka pertumbuhan ekonominya tetap positif dan tak mengalami kontraksi walaupun krisis sedang melanda dunia, hebat kan Indonesia….hahahaha. Perjalanan saya terhenti di depan sebuah warung yang menawarkan kaca mata. Lihat sendiri photonya, anda pasti bisa menebak apa alasan saya berhenti di depannya.



Waktunya pergi meninggalkan Situ tiba, sudah pukul 14:30,saatnya menuju obyek wisata kedua seperti dalam rencana. Ternyata di pintu keluar seorang pengamen sudah menyiapkan lagu perpisahan sekaligus ajakan untuk kembali datang, entah kapan.




0 comments:

Post a Comment