Thursday, July 2, 2009

Garuda Di Dadaku

Untung ada Ikranegara. Itu yang ada di kepala begitu selesai nonton film Garuda di dadaku. Tapi pikiran ini segera aku pinggirkan ketika anakku kelihatan senang, beranjak dari kursinya. Bagus ya Pak filmnya?, besok main bola lagi aaah. Saya tersenyum mengiyakan. Sesampai di rumah dan setelah anak-anak tidur menjemput mimpi mereka, saya utarakan pendapat tadi ke belahan jiwa alias ibunya anak-anak. Rupanya, pendapatnya kurang lebih sama juga. Yang penting kan anak-anak senang menontonnya. Mungkin karena capek, seperti itu saja tanggapannya.

Tapi bener lo, film ini tertolong oleh aktingnya Ikranegara, sementara yang lain sih aktingnya biasa-biasa aja. Ramzi oke juga lah, celetukan2 Arab-Betawinya mampu menyegarkan jalinan cerita. Rasa-rasanya konflik yang dibangun kok terlalu gampang diselesaikan. Rasa-rasanya juga, pesan titipan dari sebuah shampoo terasa terlalu vulgar disampaikan. Belum lagi untuk seorang anak yang berumur 13 tahun, “kebohongan-kebohongan” yang disajikan untuk mengelabui kakeknya sungguh terasa kecanggihan. Apa saya yang ketinggalan ya?, bahwa ternyata anak-anak sekarang memang lebih pintar dibandingkan jaman saya….hahahahaha.


Konflik yang ada beserta pesan-pesan moral yang ingin disampaikan, sebenarnya mempunyai potensi yang dapat menyedot simpati penonton. Bagaimana tidak?, seorang anak (Bayu) yang punya bakat main bola dan mimpi untuk bermain sebagai Timnas Indonesia, sementara Kakek yang ikut merawatnya punya trauma terhadap bola. Sebuah trauma karena anaknya sendiri (Bapaknya Bayu) yang juga punya hobi dan bakat bola, mengalami cedera justru pada saat mengikuti seleksi TimNas dan cedera ini yang membuat karir bolanya terhenti. Cedera seperti apa sih yang membuat karir bolanya terhenti?, ini tidak tersampaikan, yang jelas Bapaknya Bayu ketika meninggal profesinya adalah sopir taksi. Menurut sang Kakek yang pensiunan pegawai Pertamina, sopir taksi adalah sebuah profesi yang tidak identik dengan gambarannya tentang sebuah “kesuksesan”. Ini yang menjadi trauma sang Kakek. Oleh karenanya, Bayu yang merupakan cucu satu2nya harus dijauhkan dari bola. Menjadi pemain bola tidak akan mengantarkannya kepada “kesuksesan” itu tadi. Dalam sebuah adegan, sang Kakek berujar dengan sinisnya,”jangan jadi pemain bola apalagi di Indonesia, walaupun sekarang pemain bola dibayar mahal, kalau cedera bagaimana?, lha wong yang cuma nonton aja juga mungkin cedera”. Nah lho, gimana tuh PSSI?

Film ini, sebetulnya perjuangan Bayu menggapai mimpinya menjadi pemain Timnas dan pada saat yang sama ingin menyampaikan pesan bahwa apa yang menurut orang tua baik bagi seorang anak atau cucu, ternyata belum tentu baik bagi si anak atau cucu itu sendiri. Bagaimanapun, seorang anak atau cucu itu mempunyai dunianya sendiri, dan dunia mereka ini sungguh masih sangat susah dimengerti dan dipahami oleh sebagian dari kita yang lebih tua dibandingkan dari mereka. Film ini sebenarnya juga ingin membedah tentang stereotip pemikiran, gambaran dan definisi tentang “sukses”. Sukses yang dimengerti, dipahami dan diyakini oleh kebanyakan orang tua. Sebuah kegagapan generasi tua untuk menghadapi dan menyikapi generasi yang lebih muda. Kahlil Gibran menggambarkan kegagapan ini dengan indahnya.

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.
Mereka adalah putra putri dari kehidupan yang merindukan dirinya sendiri,

Mereka datang melaluimu tetapi bukan darimu,
Dan walaupun mereka tinggal bersamamu, mereka bukanlah milikmu.

Kau dapat memberikan kasih-sayangmu tetapi tidak pikiranmu,
Karena mereka mempunyai pemikiran sendiri.

Kau dapat memberikan tempat untuk raga tetapi tidak untuk jiwa mereka,
Karena jiwa mereka menghuni rumah masa depan, yang tak dapat kau kunjungi, bahkan tak juga dalam mimpi-mimpimu.

Kau dapat berupaya keras untuk menjadi seperti mereka, tetapi jangan mencoba membuat mereka sepertimu,
Karena kehidupan tidak berjalan ke belakang juga tak tinggal di masa lalu.

Kau adalah busur dari mana anak-anakmu melesat ke depan sebagai anak panah hidup…
Sang pemanah melihat sasaran di atas jalur di tengah keabadian, dan DIA meliukkanmu dengan kekuatanNYA sehingga anak panahNYA dapat melesat dengan cepat dan jauh.

Biarkanlah liukkanmu di tangan sang pemanah menjadi keceriaan;
Bahkan DIA pun mengasihi anak panah yang terbang, demikian juga DIA mengasihi busur yang mantap.


Film ini juga berupaya untuk menyampaikan kritik. Perjuangan Bayu untuk mencari sebuah lapangan bola yang dapat dijadikan sebagai tempat latihan, sungguh luar biasa. Maklum hampir setiap jengkal tanah yang ada di Jakarta ini sudah jadi beton, kalaupun masih ada yang berupa tanah yang berumput, sudah dipagarin dan digembok orang. Ini masalah kita sebagai bangsa. Pertanyaan bagaimana kita mengatur tata ruang dan wilayah, sampai sekarang belum terjawab dengan tuntas. Kalapun kita sudah berusaha menjawabnya, kita baru sekedar menjawabnya. Antara apa yang menjadi jawaban kita dan apa yang kita lakukan masih belum sejalan. Contoh yang masih terekam diingatan adalah kasus Lumpur Sidoarjo dan Situ Gintung.

Jadi sekali lagi, tema yang dicoba untuk disampaikan sebenarnya mempunyai potensi yang lebih untuk dieksplorasi, dibandingkan dengan apa yang telah disajikan.

Tapi ya, mbuh ra ruh. Toh bagi saya dan belahan jiwa, dan mungkin juga anda para orang tua, yang penting anak-anak senang menontonnya, pas liburan sekolah lagi. Entah bagi produser dan sutradaranya.



2 comments:

Anonymous said...

mamanya bayu kok ndak diceritakan?
mungkin penulis lebih kesengsem dengan mamanya ricky?

Den Baguse said...

mamanya Bayu lagi belanja bareng mama Ricky,....gara2 debat2an udah lama nich nggak ketemu mama ricky

Post a Comment