Tuesday, July 14, 2009

BlackBerry dan Tabung Gas

Perkembangan di dunia telekomunikasi dan elektronika sungguh luar biasa. Produk-produk smart phone yang menawarkan berbagai kemudahan untuk berkomunikasi lewat dunia maya seperti lewat chatting, jejaring social facebook, twitter, surat elektronik dan update berita terkini dari situs berita, sungguh variatif, mulai dari yang diproduksi dan dipasarkan untuk pengguna yang masuk kategori low-end maupun high-end. Berbagai merek menyerbu pasar Indonesia. Operator telekomunikasi pun ikut berlomba untuk mendapatkan segmen pasarnya dengan memasarkan produk-produk smart phone seperti BlackBerry dan IPhone 3G dengan sistem bundling. Orang rela mengantre panjang untuk mendapatkannya. Seorang kawan pernah bertanya sambil bergurau, “kok kayaknya antrean pembelian smart phone itu lebih panjang dari antrean BLT ya?”.

Membanjirnya produk-produk smart phone, alat telekomunikasi dan elektronika lainnya ke pasar dalam negeri tentunya harus disikapi. Dalam hal perlindungan terhadap hak konsumen, terutama berkenaan dengan jaminan terhadap kualitas produk, fasilitas purna jual beserta garansi, dan petunjuk pemakaian yang menggunakan bahasa Indonesia, sikap ini telah diambil oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan. Lewat Peraturan Menteri Perdagangan no No.19/M-DAG/PER/5/2009 ketentuan-ketentuan untuk menjamin hak konsumen dijabarkan.


Kementrian yang sama, juga tampak serius dalam usahanya untuk menegakkan ketentuan-ketentuan dalam peraturan tersebut diatas. Ini dapat dilihat dari polemik yang mengemuka akhir-akhir ini, dimana salah satu produsen smart phone, Research in Motion (RIM) yang merupakan produsen BlackBerry, mendapatkan sorotan dan teguran untuk segera membuka layanan purna jualnya di Indonesia, walaupun peraturan yang sama baru akan efektif diberlakukan di bulan Agustus 2009 besok, tiga bulan sejak ditetapkan.

Sebuah bentuk sosialisasi yang cerdas menurut saya. Kenapa?, karena produk smart phone ini memang laris manis di pasaran, tiga operator telekomunikasi besar ikut memasarkannya dan penggunanya pun sudah mencapai ratusan ribu.. Harapannya tentu saja, produk-produk telekomunikasi dan elektronik lainnya seperti VCD, DVD, VCR, Amplifier, Home Theater, Cakram Optik Kosong dan Isi, Water Dispenser, Faksimili, Frizer Rumahan, Kamera Digital/Video dan lainnya seperti yang tercantum dalam lampiran 1 dari peraturan tersebut, dan terutama bagi produsen yang belum memenuhi ketentuan-ketentuan peraturan tersebut, untuk segera menyiapkan diri. Karena jika tidak, pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan dan izin teknis lainnya sebagai sanksinya akan dikenakan.

Setelah beberapa lama kasus antara Kementrian Perdagangan dengan Research in Motion (RIM) ini menjadi perbincangan dan meresahkan baik pengguna BlackBerry maupun Operator Telekomunikasi yang menjualnya, pada hari Kamis 9 Juli, lewat seorang juru bicaranya, Research in Motion (RIM) memastikan tanggal pembukaan kantor layanan purna jualnya. Kantor ini akan dibuka dan beroperasi pada tanggal 26 Agustus 2009, tepat 3 bulan setelah peraturan menteri tersebut diatas ditetapkan. Rupanya janji ini belum juga memuaskan bagi pemerintah. Departemen Komunikasi dan Informasi sebagai departemen teknis yang mengeluarkan sertifikat impor BlackBerry menilai apa yang dijanjikan oleh RIM belum cukup, Departemen Perdagangan kembali menegaskan bahwa RIM harus membuka kantor layanan purna jualnya paling lambat Rabu, 15 Juli 2009. Tenggat waktu tinggal satu hari, apa yang akan menjadi hasil dan kesimpulan dari kasus ini?, kita tunggu saja. Namun demikian, apapun hasil dan kesimpulan dari kasus ini, apa yang telah dan sedang dilakukan oleh Departemen Perdagangan dan Departemen Komunikasi dan Informasi sebagai departemen teknis dalam usaha melindungi hak konsumen/pengguna produk RIM, patut diacungi jempol dan diapresiasi.

Lalu apa hubungan antara kasus yang berkaitan dengan BlackBerry ini dengan Tabung Gas?

Sebuah rumah makan Soto Lamongan di Kedoya, Jakarta Barat terbakar dan menewaskan 7 orang. Kejadian ini masih dalam investigasi pihak kepolisian. Patut diperhatikan apa yang disampaikan oleh Kapolsek Kebon Jeruk, seperti yang dikutip oleh Kompas.com, bahwa berdasarkan keterangan para saksi dan hasil pemeriksaan sementara Puslabfor, ada kemungkinan kebocoran yang berasal dari tabung gas menjadi penyebab terjadinya kebakaran yang mengenaskan tersebut. Dugaan kebocoran tabung gas menjadi penyebab terjadinya sebuah kebakaran bukan baru sekali ini saja mengemuka. Kualitas dari tabung gas yang beredar di pasar dan masyarakat sebagai pengguna menjadi sebuah pertanyaan dan sekaligus kekhawatiran.

Dalam menjawab pertanyaan dan kekhawatiran tersebut, Departemen Perdagangan berencana akan melakukan inspeksi terhadap empat produsen tabung gas dari sepuluh produsen yang mendapatkan kontrak pembuatan tabung gas. Inspeksi ini akan difokuskan untuk memonitor aspek keselamatan dari tabung gas beserta proses produksinya dan memastikan bahwa standar nasional yang terkait dengan kualitas tabung gas dapat dipenuhi oleh para produsen.

Inspeksi ini sangat strategis, terutama jika dikaitkan dengan program konversi minyak tanah ke gas dan tentu saja keselamatan dari masyarakat sebagai pengguna, terutama golongan masyarakat yang menggunakan tabung gas ukuran 3 kg, sasaran utama dari program konversi tersebut.

Jika kita bandingkan antara pengguna BlackBerry yang berjumlah ratusan ribu dan tentu saja masuk dalam kategori rakyat Indonesia yang mampu, dengan pengguna tabung gas ukuran 3 kg yang didominasi oleh rakyat, yang hampir pasti tidak menggunakan BlackBerry, berjumlah jutaan pula, akan didapatkan sebuah gambaran yang menarik. Belum lagi jikalau kenyataan bahwa yang menggunakan BlackBerry pun adalah pengguna tabung gas yang sama juga ikut menjadi konsideran. Supaya gambaran tersebut menjadi semakin menarik dan berwarna-warni, bagaimana jika pertanyaan “kasus manakah yang mendapatkan perhatian lebih dan menjadi prioritas dari pemerintah?”, juga kita tampilkan dalam gambar yang sama. Selamat menggambar, saya ucapkan kepada sidang pembaca.




Read more...

Thursday, July 9, 2009

Situ Patenggang di Masa Tenang

Permohonan cuti sudah disetujui, tinggal persiapan ala kadarnya terus langsung cabut. Libur anak-anak tinggal seminggu lagi, harus dimanfaatkan dengan seoptimal mungkin. Setelah cuma ngendon dirumah dan bermain di dalam dan sekitarnya saja, bosan terasa juga. Pak masak liburan di rumah saja kata anak-anak suatu ketika. Ndilalah kok pas dengan masa tenang pemilu presiden dan wakilnya, jalanan tentunya lebih lengang dan kemungkinan bertemu dengan truk, bus atau kendaraan yang digunakan oleh para pendukung capres yang sedang kampanye, tentunya sudah tak ada. Liburan dan masa tenang telah tiba.

Agak telat memang kita berangkat dari rumah, tapi tak mengapa. Toh pada akhirnya kita mencapai daerah yang kita tuju lebih cepat dari perkiraan semula. Jalanan relative sepi, kecuali daerah seputaran Kopo,Bandung. Tak usah heran, kawasan ini memang sudah terkenal dengan kemacetannya. Begitu keluar dari tol padalarang – cileunyi, belok kanan menuju Soreang, antrean kendaraan sudah dimulai. Maklum saja, penyempitan jalur terjadi sepanjang jalan. Semua badan jalan sudah terpakai, nyaris tak ada ruang tersisa untuk trotoar.


Jam tangan menunjukkan pukul 11:30, Senin, 6 Juli 2009 ketika kami sampai di tempat penginapan. Setelah check-in, kami memutuskan untuk segera berangkat menuju obyek wisata pertama. Udara segar dan dingin terasa, kaca jendela dibuka. Jalan menanjak dua jalur untuk dua arah, harus berhenti ketika angkot berhenti menurunkan atau menaikkan penumpang. Belum lagi kalau pas kita berada persis di belakang truk atau bus, harus ekstra hati-hati. Sesekali terlihat motor berhenti di pinggir jalan, sepasang muda-mudi membelakangi tak mau mudah dikenali. Sebelah kiri tebing, sebelah kanan jurang tak jarang dilewati. Perkebunan strawberry terlihat hampir sepanjang jalan, seorang di depan gerbang melambaikan tangan mengajak untuk sekedar berhenti, melihat kebun dan memetik strawberry, ditimbang dan transaksi pun terjadi. Kami tak berhenti.

Pemandangan sungguh indah, hijau daun teh, kontur tanah dan batuan yang terkadang seolah menyembul dari tanah entah bagaimana caranya dan kapan terjadinya. Subhanallah. Pintu masuk sudah didepan mata. Petugas melongok ke dalam mobil dan menyebut sebuah angka. Uang diberikan, karcis masuk pun didapatkan sebagai gantinya. Turun terus sepanjang hijau daun teh, jalan kecil yang terkadang berlubang di sana sini. Mobil menepi di area kosong sebuah parkiran, sebuah rumah di sebelah kiri dan air tepat di depan mata, banyak jumlahnya.

Entah kenapa kebanyakan orang lebih senang menyebutnya Situ Patenggang, padahal situs wisata ini sebenarnya bernama Situ Patengan. Menurut cerita rakyat, tersebutlah dua orang anak manusia keturunan dewa yang saling mencinta, begitu dalam mestinya. Ki Santang dan Dewi Rengganis saling mencari, sayang tak jelas pula alasan terpisahnya mereka. Akhirnya mereka pun bertemu di sebuah tempat yang kelak disebut sebagai Batu Cinta. Dewi Rengganis meminta dibuatkan sebuah danau dan perahu untuk mengelilinya. Pulau tersebut disebut Pulau Asmara. Siapa saja yang singgah di Batu Cinta dan mengelilingi Pulau Asmara, cinta abadi dan mendalam seperti yang dimiliki Ki Santang dan Dewi Rengganis akan menjadi berkahnya. Duh indahnya. Kami pun naik sebuah perahu dayung untuk menuju Batu Cinta dan mengelilingi Pulau Asmara.



Karena saya lupa menanyakan namanya, kita sebut saja Mang Oyo. Mang Oyo mendayung perahu yang kami tumpangi. Kata Mang Oyo, ada 33 perahu yang beroperasi di Situ Patenggang. Enam diantaranya bermotor. Ukuran perahu rata-rata sama, bisa menampung kira-kira 15 penumpang. Ketika ditanyakan kenapa cuma enam yang bermotor, jawabnya ini aturan dari Koperasi. Semua perahu dimiliki Koperasi dan disewakan. Mang Oyo ini harus menyetor hasil menyewakan dan mendayung perahu kepada Koperasi. Sehari cuma dapat jatah sekali. Pekerjaan menyewakan dan mendayung perahu ini cuma sambilan saja., menjadi pemetik daun teh adalah yang utama. Ceritanya lagi, sehari kira2 bisa memetik 50 kg daun teh, dan hanya kira2 10 kg saja pada saat musim kemarau. Satu kilogram daun teh dihargai Rp. 350,00. Hitung sendiri berapa yang bisa dibawanya pulang setiap harinya. Produk teh yang dihasilkan perkebunan ini dikenal dan dijual dengan nama Teh Walini. Enak lho tehnya, cobain aja kalau nggak percaya.



Ah minum bandrek setelah mengelilingi situ tentu uenaak mestinya. Siapa tahu bisa membantu melawan dinginnya udara. Merek bandrek yang bisa dijumpai di warung-warung di sekitar situ adalah bandrek Abah. Bandrek Abah ini mulai diproduksi sejak tahun 1982, tanpa bahan pengawet dan ada expire datenya. Jangan lupa “Kocok Sebelum di Konsumsi” seperti yang tertulis di label baru yang terpasang di tiap botolnya.



Warung-warung di seputaran Situ ada puluhan jumlahnya. Mulai yang menawarkan sekedar gorengan, strawberry segar, juice strawberry botolan, ayam goreng dan bakar, bakso, dan cindera mata. Tak ada yang menarik saya untuk membelinya, sayang ya, sebenarnya dengan membelinya kan bisa menaikkan tingkat konsumsi pasar dalam negeri yang pada akhirnya memberikan kontribusi terhadap positifnya angka pertumbuhan ekonomi, cuma tiga negara di Asia lho yang angka pertumbuhan ekonominya tetap positif dan tak mengalami kontraksi walaupun krisis sedang melanda dunia, hebat kan Indonesia….hahahaha. Perjalanan saya terhenti di depan sebuah warung yang menawarkan kaca mata. Lihat sendiri photonya, anda pasti bisa menebak apa alasan saya berhenti di depannya.



Waktunya pergi meninggalkan Situ tiba, sudah pukul 14:30,saatnya menuju obyek wisata kedua seperti dalam rencana. Ternyata di pintu keluar seorang pengamen sudah menyiapkan lagu perpisahan sekaligus ajakan untuk kembali datang, entah kapan.





Read more...

Thursday, July 2, 2009

Garuda Di Dadaku

Untung ada Ikranegara. Itu yang ada di kepala begitu selesai nonton film Garuda di dadaku. Tapi pikiran ini segera aku pinggirkan ketika anakku kelihatan senang, beranjak dari kursinya. Bagus ya Pak filmnya?, besok main bola lagi aaah. Saya tersenyum mengiyakan. Sesampai di rumah dan setelah anak-anak tidur menjemput mimpi mereka, saya utarakan pendapat tadi ke belahan jiwa alias ibunya anak-anak. Rupanya, pendapatnya kurang lebih sama juga. Yang penting kan anak-anak senang menontonnya. Mungkin karena capek, seperti itu saja tanggapannya.

Tapi bener lo, film ini tertolong oleh aktingnya Ikranegara, sementara yang lain sih aktingnya biasa-biasa aja. Ramzi oke juga lah, celetukan2 Arab-Betawinya mampu menyegarkan jalinan cerita. Rasa-rasanya konflik yang dibangun kok terlalu gampang diselesaikan. Rasa-rasanya juga, pesan titipan dari sebuah shampoo terasa terlalu vulgar disampaikan. Belum lagi untuk seorang anak yang berumur 13 tahun, “kebohongan-kebohongan” yang disajikan untuk mengelabui kakeknya sungguh terasa kecanggihan. Apa saya yang ketinggalan ya?, bahwa ternyata anak-anak sekarang memang lebih pintar dibandingkan jaman saya….hahahahaha.


Konflik yang ada beserta pesan-pesan moral yang ingin disampaikan, sebenarnya mempunyai potensi yang dapat menyedot simpati penonton. Bagaimana tidak?, seorang anak (Bayu) yang punya bakat main bola dan mimpi untuk bermain sebagai Timnas Indonesia, sementara Kakek yang ikut merawatnya punya trauma terhadap bola. Sebuah trauma karena anaknya sendiri (Bapaknya Bayu) yang juga punya hobi dan bakat bola, mengalami cedera justru pada saat mengikuti seleksi TimNas dan cedera ini yang membuat karir bolanya terhenti. Cedera seperti apa sih yang membuat karir bolanya terhenti?, ini tidak tersampaikan, yang jelas Bapaknya Bayu ketika meninggal profesinya adalah sopir taksi. Menurut sang Kakek yang pensiunan pegawai Pertamina, sopir taksi adalah sebuah profesi yang tidak identik dengan gambarannya tentang sebuah “kesuksesan”. Ini yang menjadi trauma sang Kakek. Oleh karenanya, Bayu yang merupakan cucu satu2nya harus dijauhkan dari bola. Menjadi pemain bola tidak akan mengantarkannya kepada “kesuksesan” itu tadi. Dalam sebuah adegan, sang Kakek berujar dengan sinisnya,”jangan jadi pemain bola apalagi di Indonesia, walaupun sekarang pemain bola dibayar mahal, kalau cedera bagaimana?, lha wong yang cuma nonton aja juga mungkin cedera”. Nah lho, gimana tuh PSSI?

Film ini, sebetulnya perjuangan Bayu menggapai mimpinya menjadi pemain Timnas dan pada saat yang sama ingin menyampaikan pesan bahwa apa yang menurut orang tua baik bagi seorang anak atau cucu, ternyata belum tentu baik bagi si anak atau cucu itu sendiri. Bagaimanapun, seorang anak atau cucu itu mempunyai dunianya sendiri, dan dunia mereka ini sungguh masih sangat susah dimengerti dan dipahami oleh sebagian dari kita yang lebih tua dibandingkan dari mereka. Film ini sebenarnya juga ingin membedah tentang stereotip pemikiran, gambaran dan definisi tentang “sukses”. Sukses yang dimengerti, dipahami dan diyakini oleh kebanyakan orang tua. Sebuah kegagapan generasi tua untuk menghadapi dan menyikapi generasi yang lebih muda. Kahlil Gibran menggambarkan kegagapan ini dengan indahnya.

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.
Mereka adalah putra putri dari kehidupan yang merindukan dirinya sendiri,

Mereka datang melaluimu tetapi bukan darimu,
Dan walaupun mereka tinggal bersamamu, mereka bukanlah milikmu.

Kau dapat memberikan kasih-sayangmu tetapi tidak pikiranmu,
Karena mereka mempunyai pemikiran sendiri.

Kau dapat memberikan tempat untuk raga tetapi tidak untuk jiwa mereka,
Karena jiwa mereka menghuni rumah masa depan, yang tak dapat kau kunjungi, bahkan tak juga dalam mimpi-mimpimu.

Kau dapat berupaya keras untuk menjadi seperti mereka, tetapi jangan mencoba membuat mereka sepertimu,
Karena kehidupan tidak berjalan ke belakang juga tak tinggal di masa lalu.

Kau adalah busur dari mana anak-anakmu melesat ke depan sebagai anak panah hidup…
Sang pemanah melihat sasaran di atas jalur di tengah keabadian, dan DIA meliukkanmu dengan kekuatanNYA sehingga anak panahNYA dapat melesat dengan cepat dan jauh.

Biarkanlah liukkanmu di tangan sang pemanah menjadi keceriaan;
Bahkan DIA pun mengasihi anak panah yang terbang, demikian juga DIA mengasihi busur yang mantap.


Film ini juga berupaya untuk menyampaikan kritik. Perjuangan Bayu untuk mencari sebuah lapangan bola yang dapat dijadikan sebagai tempat latihan, sungguh luar biasa. Maklum hampir setiap jengkal tanah yang ada di Jakarta ini sudah jadi beton, kalaupun masih ada yang berupa tanah yang berumput, sudah dipagarin dan digembok orang. Ini masalah kita sebagai bangsa. Pertanyaan bagaimana kita mengatur tata ruang dan wilayah, sampai sekarang belum terjawab dengan tuntas. Kalapun kita sudah berusaha menjawabnya, kita baru sekedar menjawabnya. Antara apa yang menjadi jawaban kita dan apa yang kita lakukan masih belum sejalan. Contoh yang masih terekam diingatan adalah kasus Lumpur Sidoarjo dan Situ Gintung.

Jadi sekali lagi, tema yang dicoba untuk disampaikan sebenarnya mempunyai potensi yang lebih untuk dieksplorasi, dibandingkan dengan apa yang telah disajikan.

Tapi ya, mbuh ra ruh. Toh bagi saya dan belahan jiwa, dan mungkin juga anda para orang tua, yang penting anak-anak senang menontonnya, pas liburan sekolah lagi. Entah bagi produser dan sutradaranya.




Read more...