Tuesday, June 30, 2009

Seorang Remaja (dari Cirebon) Bertahun Kemudian

Cirebon, sebuah kota di pantai utara Jawa. Apa coba yang ada di otak anda ketika orang menyebut nama “Cirebon”?. Nasi Jamblang, nasi lengko, empal gentong, tahu gejrot, perkampungan nelayan, kota udang, pemandian air hangat di Kuningan, lapangan terbang Kalijati, you name it. Pendek kata, banyak hal yang bisa diasosiasikan dengan Cirebon.

Semuanya dimulai di abad 14, Muara Jati nama sebuah perkampungan nelayan. Seorang yang bernama Ki Gedeng Tapa dipercayakan menjadi pemimpin perkampungan yang sekaligus menjadi pelabuhan bagi Kerajaan Galuh. Banyak kapal berdatangan, garam, hasil pertanian dan terasi menjadi primadona perdagangan.

Ki Gedeng Tapa juga mendirikan sebuah pemukiman di lemah wungkuk, kurang lebih 5 km selatan Muara Jati. Gelar Kuwu Cerbon diberikan kepadanya. Setelah wafat, kepemimpinannya dilanjutkan oleh menantunya, Walangsungsang, yang kelak diangkat menjadi Adipati Cirebon dengan gelar Cakrabumi.

Kewajiban untuk mengirimkan upeti nampaknya memberatkan bagi Cakrabumi, setelah dirasa kuat secara ekonomi dan militer, dihentikanlah tradisi pengiriman upeti tersebut. Pertempuran terjadi, Cakrabumi memegang kendali. Sebuah Kerajaan baru didirikan dengan nama Cirebon dan gelar barunya pun diumumkan, Cakrabuana.


Karena letaknya yang berbatasan dengan Jawa Tengah, sebagian penduduk Cirebon bisa berbahasa Jawa dan sebagian lainnya berbahasa Sunda. Beberapa dari mereka malah menguasai keduanya. Maka tak heran jika Cirebon juga terkenal dengan sebutan “Caruban”, yang artinya campuran. Ini tentu saja masuk akal, mengingat bahwa penduduk Cirebon merupakan campuran dari keturunan Jawa, Melayu, Sunda, Cina dan Arab, yang tentu saja menciptakan budaya caruban itu tadi.

Sebuah perkampungan nelayan telah berubah menjadi sebuah kota penting kedua setelah Bandung, sebagai ibukota propinsi Jawa Barat. Letaknya yang berada di jalur utama utara pulau Jawa meneguhkan nilai penting dan kestrategisannya.

Kalender penanggalan menunjukan tanggal 5 Agustus 1989. Daerah sekitaran Dago seakan memutih, maklum banyak yang mengenakan seragam putih-putih. Dasi hitam juga tak ketinggalan. Senyum pun bertaburan, maklum hari pertama kuliah, setelah rangkaian panjang kelulusan SMA, UMPTN, daftar ulang akhirnya hari pertama itu pun tiba.

Hari itu juga merupakan hari di mana kesempatan mengenal lebih jauh tentang Cirebon seolah terbuka. Seorang remaja dari Cirebon, tinggi di atas rata-rata, sawo matang, dengan potongan rambut cepak, “njegrak” kata orang jawa, dan senyumnya yang renyah, seakan memberi gambaran yang lain dan mendalam tentang budaya caruban. Logat Sunda yang demikian kentalnya, tapi toh bahasa jawa pun bisa. “Nama saya Gunawan, asli Cirebon, hobi saya main voli” begitu katanya ketika saat perkenalan tiba.

Bola voli di kampus ini seolah selalu didominasi oleh jurusan lain seperti Mesin, Sipil dan Geologi. Tanpa mengecilkan peran anggota tim lainnya seperti Chandra Jamil Dalimunthe, Arnold Makasau Rivai, dlsbg, semenjak bergabungnya Gunawan kedalam tim bola voli HMFT, peta kekuatan itu berubah. Nama HMFT semakin sering terdengar dibicarakan di GKU, Student Centre, dimanapun perbincangan yang menyangkut UBV Cup, sebuah turnamen bola voli tahunan antar himpunan dibicarakan. Saya ingat betul, ketika suatu saat HMFT berhadapan lawan HIMAFI. Setiap saat bola dimenangkan oleh HIMAFI gumaman, “nggak papa toh kita menang teknik”, seringkali terdengar keluar dari kerumunan supporter HMFT seakan membela diri.

Tak cukup hanya di kampus saja, Gunawan juga memberikan kontribusinya di lingkungan tempat tinggalnya. Hampir semua kegiatan seperti peringatan 17-an, Karang Taruna diikutinya dengan sepenuh hati. Kontribusi dan keikhlasannya dalam beraktifitas ini lah yang membuatnya pernah mendapatkan tawaran untuk menjadi RT di lingkungan tempat tinggalnya. Sebuah kehormatan mengingat usianya yang masih tergolong belia dan keengganan hampir setiap orang untuk mengemban kewajiban yang melekat kepadanya.

Tapi hidup memang kadang terasa tidak adil, tapi semangat hidup tetap haruslah tinggi. Kehidupan seperti tidak sedang memihaknya, tapi segala daya dan upaya harus tetap dicoba. Berjualan sepatu doc mart cibaduyut, membuka persewaan computer, manggung sebagai crew karawitan cirebonan di acara kawinan adalah wujud daya dan upaya itu. Adalah wajibnya manusia berusaha, sementara hasilnya, lillahita’ala.

Seruling bambu yang sering dimainkan Gunawan di sela-sela jam kuliah, seperti membantu menjawab keresahan-keresahan hidup dan pada saat yang sama berteriak menantang ketidak berpihakan itu. Merdu mendayu sekaligus mengharu biru.

Harus kita sadari bahwa setiap manusia selalu mempunyai “ruang sunyi” dalam dirinya. Sebuah ruang yang tak semua orang, termasuk kawannya sendiri pun perlu tahu, karena memang “ruang sunyi” itu hanya untuk dirinya dan Sang Maha Sunyi yang memilikinya. Demikian pula dengan Gunawan, tak banyak yang kami tahu.

Doa tulus kami panjatkan, selamat jalan untuk Gunawan, seorang remaja (dari Cirebon) bertahun kemudian.

0 comments:

Post a Comment